Baca Juga


Menjelang Haul ke 32
Kisah perjuangan Mbah Ilyas Sasap seolah terpendam. Sosok yang dikenal nyentrik itu lebih dikenal karena karomahnya yang dipercaya dapat memberi rejeki. Tetapi sesungguhnya perannya tidaklah kecil pada masa revolusi. Beliau wafat pada tahun 1984.
Oktober 1945, ketika api peperangan mulai berkobar di Surabaya, para ulama Mojokerto membentuk Lasykar Kyai. Organisasi itu kemudian berubah nama menjadi Lasykar Sabilillah setelah Konggres Umat Islam di Jogjakarta. Kyai Nawawi, Rois Syuriah NU Mojokerto ditunjuk sebagai ketuanya.
Mbah Ilyas Sasap adalah salah satu kyai yang tergabung dalam Lasykar Sabilillah Mojokerto. Beliau dikenal sebagai sosok yang eksentrik. Bila tidak mengenalnya, maka orang tidak akan menyangka bila dia tokoh yang dihormati. Pakaian yang dikenakannya layaknya warga kebanyakan. Kesehariannya sering meminta-minta uang dan barang pada orang.
Tempat yang paling sering dikunjungi Mbah Ilyas adalah pasar di sekitar Mojokerto. Pasar Kliwon, Pasar Tanjung dan Pasar Brangkal ketika pasar sedang ramai. Para pedagang di pasar kerap berharap Mbah Ilyas datang ke lapaknya. Mereka akan senang hati memberi apa yang diminta oleh beliau. Pedagang percaya bila diminta barang atau uangnya maka akan banyak rejeki didapat pada hari itu.
Namun saat meminta-minta pun Mbah Ilyas tidak sembarangan karena orang tertentu saja yang akan dimintai. Kendati ada orang yang memberi tanpa diminta, Mbah Ilyas belum tentu akan diterimanya. Oleh karena itu saat di datangi Mbah Ilyas, pedagang pasar menganggapnya sama dengan diberi rejeki.
Uang dan barang hasil meminta itu kemudian diberikan kembali pada orang lain. Tentu saat memberi juga tidak pada sembarang orang.
Menurut H. Sholeh Hasyim (90), sikap nyentrik Mbah Isyas merupakan hasil berguru lelaku pada Mbah Royan Penompo. Pada Mbah Royan itulah beliau belajar perihal membagi rejeki pada orang lain. Mbah Ilyas meminta, mengumpulkannya kemudian mendistribusikan pada orang lainnya.
Tentu dengan sikap nyentrik semacam itu, Mbah Ilyas tidak banyak berkiprah dalam organisasi NU. Namun pada masa gejolak revolusi, kediamannya di dusun Sasap banyak dikunjungi para pejuang yang hendak berangkat ke garis depan. Kyai Ilyas yang akrab dengan pipa rokok itu dipercaya bisa memberi keselamatan lewat doa yang dipanjatkan.
Para pejuang maju berperang nyaris tanpa senjata yang memadai. Mereka membawa hanya membawa senjata yang mereka punya dan tersimpan di rumahnya. Tentu kebanyakan berupa senjata tajam. Senjata tajam itu yang nantinya dibuat melawan musuh bersenjata api, berkendara tank lapis baja serta dibantu bom yang dijatuhkan dari pesawat. Perbandingan yang tak seimbang.
Boleh dibilang, para pejuang hanya bermodalkan tekad tidak takut mati. Tetapi walaupun menyatakan siap mati tentu mereka juga masih ingin hidup. Upaya mendapat keselamatan dalam pertempuran itu yang membuat mereka datang pada orang seperti Mbah Ilyas.
Perilaku nyentrik semacam itu tidak hanya ditunjukkan oleh Mbah Ilyas saja. Orang juga mengenal sosok Mbah Royan Penompo juga ada Mbah Zahid Sinoman. Mereka, Kyai nyentrik yang kehadirannya selalu ditunggu sebagai pemberi rejeki.